Sektor pertanian memiliki peranan penting bagi Indonesia yang merupakan negara agraris. Sektor pertanian menyediakan lapangan kerja dan menjadi sumber devisa negara; pengungkit pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Melansir data dari Kominfo, per Agustus 2019, lapangan pekerjaan di Indonesia masih didominasi tiga sekor utama yaitu pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan, dimana pertanian menyerap tenaga kerja tertinggi sebesar 27,33%, disusul perdagangan (18,81%) serta industri pengolahan (14,96%)[1].
Pada periode 2012-2018, pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia cenderung mengalami penurunan dari 5,56% ke 5,17%. Akan tetapi, pada kurun yang sama, pertumbuhan sektor pertanian justru naik, dari 3,85% menjadi 3,91%. Produk domestik bruto (PDB) terbesar pertanian disumbang oleh tanaman perkebunan dan tanaman pangan. Besarnya PDB dari dua sektor itu disebabkan tanaman perkebunan merupakan andalan ekspor, sementara tanaman pangan didorong kebutuhan konsumsi nasional yang besar.
Menurut data yang dirilis BPS pada 24 Juni 2019, nilai ekspor pertanian naik 25,19% dibandingkan tahun lalu (year on year) atau senilai US$ 0,32 miliar. Kenaikan nilai ekspor pertanian ini menjadi salah satu variabel penting yang menyebabkan kenaikan ekspor nasional Mei 2019 sebesar US$ 14,74 miliar, naik 12,42% secara bulanan (Month on Month). Alhasil, neraca perdagangan nasional pun surplus sebesar US$ 207,6 juta[2].
Keberhasilan pembangunan pertanian juga tercermin dalam peningkatan kesejahteraan petani. Indikator kesejahteraan itu dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) serta menurunnya jumlah penduduk miskin di pedesaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Agustus 2019, nilai tukar petani (NTP) secara nasional naik 0,58% ke nilai 103,22 dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan NTP kali ini disebabkan indeks harga yang diterima petani naik 0,69%, lebih tinggi dari indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,11%.[3].
Sementara itu, mengutip data dari situs Kementrian Pertanian, jumlah penduduk miskin di pedesaan cenderung mengalami penurunan. Pada Maret 2015 masih ada sekitar 17,94 juta jiwa(14,21%). Namun pada bulan yang sama tahun 2017, turun menjadi 17,09 juta jiwa (13,93%). Dan pada Maret 2018, kembali turun menjadi 15,81 juta jiwa (13,47%)[4].
Data-data di atas menunjukkan indikasi yang menggembirakan dalam pembangunan pertanian Indonesia. Namun, seyogyanyalah tidak melenakan karena tantangan akan terus berubah. Kemajuan teknologi digital telah melahirkan Revolusi Industri 4.0. Mau tidak mau, sektor pertanian Indonesia harus beradaptasi jika tidak ingin tergilas dalam persaingan global yang kian tajam.
Revolusi Industri 4.0 berawal dari proyek strategi teknologi canggih pemerintah Jerman. Beberapa elemen yang menjadi pilar penting dalam Revolusi Industri 4.0 adalah: Internet of Things (IoT), Cloud Computing, Big Data, Artificial Intelligence, Printer 3D dan Teknologi Sensor. Revolusi Industri 4.0 mengimbas ke sektor pertanian, melahirkan sebuah filosofi pertanian baru yang kemudian dikenal dengan beberapa nama: Pertanian 4.0, Digital Farming atau Smart Farming; sistem pertanian dengan melibatkan teknologi digital.
Smart Farming membutuhkan beberapa elemen teknologi, diantaranya:
a. Sensor, untuk pemindaian tanah dan air, cahaya, kelembapan dan suhu
b. Teknologi telekomunikasi seperti jaringan yang stabil dan GPS.
c. Perangkat penyimpan data(Cloud Computing/Big Data). Penyimpanan data merupakan faktor terpenting dalam Smart Farming karena jumlah data yang tersedia dari hasil panen, pemetaan tanah, perubahan iklim, data cuaca, dan kesehatan hewan dan tumbuhan sangat diperlukan bagi analisa langkah-langkah yang diperlukan.
d. Satelit dan drone untuk untuk mengumpulkan data sepanjang waktu pada lahan pertanian. Drone menjadi “mata di lapangan” yang memungkinkan pemantauan jarak jauh serta melacak anomali pada kesehatan tanaman dan hewan ternak sehingga mengurangi risiko kehilangan hasil panen.
Kombinasi teknologi tersebut memungkinkan transfer data dari mesin ke mesin yang terintegrasi lewat jaringan internet (Internet of Things). Dengan menggunakan sistem ini, petani dapat menerapkan metode pertanian presisi; secara tepat mengukur perbedaan dan potensi suatu lahan, menganalisa jenis tanaman yang cocok dibudidayakan pada lahan tersebut, menggunakan pupuk dan pestisida secara lebih efektif dan bijaksana, memprediksi hasil panen dan memantau dengan lebih baik kebutuhan masing-masing hewan dan menyesuaikan nutrisi mereka untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan ternak.
Lewat penerapan Smart Farming, ongkos produksi petani berkurang, penggunaan lahan lebih optimal, meningkatnya kualitas dan kuantitas produk dan keberlanjutan pertanian (tidak terlalu bergantung kepada musim). Selain itu, platform agricultural manufacturer menjanjikan interaksi langsung dan mutual benefitantara petani dan pembeli; petani mendapatkan kepastian harga dari produknya serta memperoleh alternatif pasar, disamping memangkas jalur distribusi sehingga menumbuhkan efisiensi. TaniHub atau Rego Pantes merupakan contoh aplikasi dengan platform agricultural manufacturer. Sementara TaniFund merupakan platform crowdfunding yang bertujuan mengatasi masalah pendanaan petani[5].
Smart Farming tentu saja membutuhkan petani melek teknologi. Maka, regenerasi petani menjadi keniscayaan. Generasi anak muda saat ini, yang biasa disebut Generasi Milenial, adalah digital natives. Di pundak mereka, masa depan pertanian Indonesia terletak.
Patut disyukuri, Pemerintah merespon positif Smart Farming. Melalui Kementan, pemerintah telah menggelar program Kostratani yang merupakan bentuk pendampingan atas sosialiasi teknologi ke tingkat akar rumput. Pula telah menjalankan program Smart Green House, Smart Irrigation System, dan Automatic Tractor. Selain itu, Kementan juga telah meluncurkan aplikasi iMace (Indonesian Map of Agricultural Commodities Exports). Melalui aplikasi ini, diharapkan pengusaha maupun investor mampu mengakses informasi terkait potensi ekspor di setiap daerah serta tujuan ekspornya[6].
Adapun untuk menarik minat pemuda terhadap pertanian, pemerintah mengupayakan enam strategi regenerasi petani yaitu transformasi pendidikan tinggi vokasi pertanian, inisiasi program penumbuhan wirausahawan muda pertanian, pelibatan mahasiswa/alumni/pemuda tani untuk mengintensifkan pendampingan/pengawalan program Kementerian Pertanian, penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB) yang difokuskan bidang pertanian bagi pemuda tani, pelatihan dan magang bagi pemuda tani dalam bidang pertanian serta optimalisasi penyuluh untuk mendorong dan menumbuhkembangkan pemuda tani.
Inovasi adalah mesti demi menjawab tantangan yang terus berubah. Sebagaimana disinyalir QS Ar-Ra'd (11): “Sesungguhnya Allah tiada merubah keadaan suatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
[1] https://www.kominfo.go.id/content/detail/22584/dominasi-sektor-pertanian-jumlah-orang-bekerja-naik-250-juta/0/berita
[3] https://money.kompas.com/read/2019/09/03/094307926/indeks-kesejahteraan-petani-agustus-2019-meningkat?page=all
[4] https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3551
[5] https://hai.grid.id/read/071822087/mengenal-tanihub-dan-tanifund-yang-membantu-permasalahan-petani-dengan-metode-kekinian?page=all
[6] https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=4130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar