Dalam sepiring makanan yang tersaji dihadapan kita, terkandung upaya para petani. Taruhlah pagi ini kita sarapan nasi serta oseng-oseng kacang panjang. Petani menanam padi untuk nasi dan kacang panjang untuk oseng-oseng yang kita lahap dengan nikmat.
Kita yang hidup di perkotaan seringkali tidak menyadari hal ini. Kita cukup pergi ke supermarket atau pasar terdekat untuk mendapatkan semua bahan pangan yang diperlukan. Kemudahan akses terhadap pangan memberi kita rasa aman. Tapi, benarkah masa depan petani seaman yang kita bayangkan? Bagaimana jika generasi yang sekarang menjadi petani telah habis, siapa yang akan meneruskan kerja mereka menyokong ketersediaan pangan bagi kita?
Dalam pidatonya saat acara Dies Natalis IPB ke-54 pada 6 September 2017, Presiden RI Joko Widodo mengucapkan kelakar yang bernada sindiran: “Mahasiswa IPB banyak yang bekerja di bank. Terus yang ingin jadi petani siapa?”
Sindiran itu bukan tanpa dasar. Angkatan muda enggan mengolah lahan menyebabkan jumlah petani menyusut. Menurut data laporan angkatan kerja BPS pada 2018, jumlah petani di Indonesia hanya tinggal sekitar 4 juta orang[1], jumlah yang sangat kecil bila dibanding keseluruhan penduduk Indonesia yaitu 264 juta orang. Dus, 60,8% dari petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, usia dimana produktifitas telah menurun. Dan 73,97% berpendidikan hanya sampai SD, menyebabkan rendahnya daya saing dalam strategi bertani modern[2]. Mengutip Rektor IPB Arif Satria, dalam 15 tahun Indonesia akan mengalami krisis petani. Krisis petani pada akhirnya berdampak pada krisis ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Lantas, mengapa sebagian besar anak muda sekarang emoh jadi petani?
Pertama. Ada kisah lucu sekaligus getir yang dialami penulis. Dulu saat penulis masih SD, bila nilai-nilai pelajaran jeblok, maka guru akan memberi teguran: jika penulis tidak belajar giat dan segera memperbaiki nilai yang jeblok, maka di masa depan, alih-alih mendapat pekerjaan yang layak, penulis bakalan nyangkul di sawah atau angon kebo, berkubang dalam lumpur dan berkotor-kotor ria, kepanasan serta kecapekan. Seorang bocah di bangku sekolahan diberi gambaran bahwa “kerja di sawah” adalah pekerjaan rendah dan kotor, maka mindset pun terbentuk bahwa petani bukanlah profesi bergengsi seperti orang-orang kantoran yang bekerja pakai dasi dalam ruangan ber-AC. Mindset ini kemudian dibawa sampai dewasa.
Kedua. Seorang pemuda yang ingin memulai usaha di bidang tani, bila dia tidak mewarisi lahan dari orangtuanya, maka dia harus memiliki modal untuk membeli lahan, membeli peralatan bertani, ditambah harus pula mencari pasar bagi produknya.
Permodalan adalah masalah yang kerap menghantui petani ketika hendak memulai usahanya. Modal sulit didapat karena petani tidak selalu sukses dalam proses budidaya, padahal ongkos produksi cukup tinggi. Di Jawa Barat, untuk satu hektar lahan sawah diperlukan ongkos produksi sebesar 13,55 juta rupiah[3], dimana hampir 50% dari ongkos tersebut adalah upah bagi tenaga kerja. Lembaga penyedia modal biasanya juga memberatkan petani karena prosudernya yang rumit, selain tingginya suku bunga. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2016, hanya 15% petani Indonesia yang mengakses kredit untuk modal di bank. Petani lebih memilih untuk kredit di lembaga non bank karena prosedurnya yang lebih mudah meskipun suku bunganya lebih tinggi[4].
Di sisi lain, akses lahan bertambah sulit seiring semakin sempitnya lahan pertanian di Indonesia. Melansir keterangan dari Kementerian Pertanian, sebanyak 60.000 hektare (ha) lahan pertanian di Indonesia menyusut setiap tahunnya; nyaris setara dengan penurunan 300.000 ton produksi pertanian setiap tahun[5]. Rata-rata petani Indonesia menguasai lahan lebih kecil dari 0,5 ha dan jumlah ini terus meningkat dari 45,3% pada 1993 menjadi 56,4% pada 2003[6]. Lahan garapan yang sempit mempengaruhi besaran penghasilan petani, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan. Bandingkan dengan petani di Jepang yang rata-rata kaya dan mayoritas punya lahan minimal 7 ha.
Ketiga. Pernah lihat anak-anak muda membludak saat pendafataran ASN, bahkan ada yang bawa jimat supaya lulus ujian ASN? Ya, anak-anak muda menginginkan penghasilan yang stabil dan rutin, menjadi alasan mereka lebih banyak mencari pekerjaan di sektor industri, perbankan atau menjadi pegawai pemerintah. Petani identik dengan penghasilan yang rendah serta fluktuatif. Pendapatan petani padi sawah di Indonesia sekitar 4,95 juta per hektar per musim panen atau sekitar 1,65 juta rupiah per bulan. Setelah susah-susah kuliah sampai sarjana, bekerja terpanggang matahari, dapat uang tidak sampai 2 juta, tak heran anak-anak muda enggan menjadi petani. Belum lagi harga produk yang kerap tidak stabil, pemasaran yang bergantung kepada tengkulak, serta faktor-faktor alam yang menjadi penyebab gagal panen.
Meskipun masalah regenerasi petani terasa pelik, optimisme harus tetap dijaga. Perubahan menjadi keniscayaan. Pendidikan menjadi unsur penting dalam mengubah mindset tentang petani, bahwa petani adalah profesi yang penting karena menjadi tulang punggung ketahanan serta kedaulatan pangan negara. Janji pemerintah melakukan reforma agraria seluas 9 juta ha lahan untuk dibagikan kepada petani[7], patut diapresiasi. Namun, perlu pula kiranya pemerintah menjamin adanya insentif permodalan untuk petani, jaminan harga produk yang layak, pengaturan tata niaga pertanian serta jaminan pemasaran agar bisa mengurangi ketergantungan kepada tengkulak. Terakhir, penggunaan teknologi bukanlah hal yang tabu. Penggunaan teknologi tepat guna dapat mempermudah kerja petani. Di Jepang, pemanfaatan teknologi mesin bajak enam mempersingkat pekerjaan menjadi 1-2 jam saja. Metode Smart Farming yang menerapkan teknologi digital dalam usaha tani kiranya dapat digunakan untuk menarik perhatian generasi muda masa kini, yang merupakan digital natives, untuk menekuni dunia pertanian.
[1] https://kbr.id/nasional/05-2019/dari_264_juta_penduduk_indonesia__petani_hanya_tinggal_4_juta_orang/99444.html
[2] https://tirto.id/indonesia-krisis-regenerasi-petani-muda-cnvG
[3] https://www.pasundanekspres.co/opini/regenerasi-petani-muda-makin-memprihatinkan/
[4] https://www.pioneer.com/web/site/indonesia/Berita-Umum/berbagai-permasalahan-petani-indonesia-yang-penting-diperhatikan
[5] https://republika.co.id/berita/q411u4370/tiap-tahun-60-ribu-hektare-lahan-pertanian-menyusut
[6] Luas Lahan Usahatani dan Kesejahteraan Petani: Eksistensi Petani Gurem dan Urgensi Kebijakan Reforma Agraria, Sri Hery Susilowati dan Mohamad Maulana
[7] http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/22-informasi-berita/234-pemanfaatan-tanah-objek-reforma-agraria-tora-untuk-perluasan-lahan-pertanian-dan-kesejahteraan-petani