Sabtu, 18 Juli 2020

PELIKNYA REGENERASI PETANI INDONESIA



Dalam sepiring makanan yang tersaji dihadapan kita, terkandung upaya para petani. Taruhlah pagi ini kita sarapan nasi serta oseng-oseng kacang panjang. Petani menanam padi untuk nasi dan kacang panjang untuk oseng-oseng yang kita lahap dengan nikmat.            

            Kita yang hidup di perkotaan seringkali tidak menyadari hal ini. Kita cukup pergi ke supermarket atau pasar terdekat untuk mendapatkan semua bahan pangan yang diperlukan. Kemudahan akses terhadap pangan memberi kita rasa aman. Tapi, benarkah masa depan petani seaman yang kita bayangkan? Bagaimana jika generasi yang sekarang menjadi petani telah habis, siapa yang akan meneruskan kerja mereka menyokong ketersediaan pangan bagi kita?

            Dalam pidatonya saat acara Dies Natalis IPB ke-54 pada 6 September 2017, Presiden RI Joko Widodo mengucapkan kelakar yang bernada sindiran: “Mahasiswa IPB banyak yang bekerja di bank. Terus yang ingin jadi petani siapa?”

            Sindiran itu bukan tanpa dasar. Angkatan muda enggan mengolah lahan menyebabkan jumlah petani menyusut. Menurut data laporan angkatan kerja BPS pada 2018, jumlah petani di Indonesia hanya tinggal sekitar 4 juta orang[1], jumlah yang sangat kecil bila dibanding keseluruhan penduduk Indonesia yaitu 264 juta orang. Dus, 60,8% dari petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun, usia dimana produktifitas telah menurun. Dan 73,97% berpendidikan hanya sampai SD, menyebabkan rendahnya daya saing dalam strategi bertani modern[2]. Mengutip Rektor IPB Arif Satria, dalam 15 tahun Indonesia akan mengalami krisis petani. Krisis petani pada akhirnya berdampak pada krisis ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. 

            Lantas, mengapa sebagian besar anak muda sekarang emoh jadi petani?

            Pertama. Ada kisah lucu sekaligus getir yang dialami penulis. Dulu saat penulis masih SD, bila nilai-nilai pelajaran jeblok, maka guru akan memberi teguran: jika penulis tidak belajar giat dan segera memperbaiki nilai yang jeblok, maka di masa depan, alih-alih mendapat pekerjaan yang layak, penulis bakalan nyangkul di sawah atau angon kebo, berkubang dalam lumpur dan berkotor-kotor ria, kepanasan serta kecapekan. Seorang  bocah di bangku sekolahan  diberi gambaran bahwa “kerja di sawah” adalah pekerjaan rendah dan kotor, maka mindset pun terbentuk bahwa petani bukanlah profesi bergengsi seperti orang-orang kantoran yang bekerja pakai dasi dalam ruangan ber-AC. Mindset ini kemudian dibawa sampai dewasa. 

            Kedua. Seorang pemuda yang ingin memulai usaha di bidang tani, bila dia tidak mewarisi lahan dari orangtuanya, maka dia harus memiliki modal untuk membeli lahan, membeli peralatan bertani, ditambah harus pula mencari pasar bagi produknya. 

            Permodalan adalah masalah yang kerap menghantui petani ketika hendak memulai usahanya. Modal sulit didapat karena petani tidak selalu sukses dalam proses budidaya, padahal ongkos produksi cukup tinggi. Di Jawa Barat, untuk satu hektar lahan sawah diperlukan ongkos produksi sebesar 13,55 juta rupiah[3], dimana hampir 50% dari ongkos tersebut adalah upah bagi tenaga kerja. Lembaga penyedia modal biasanya juga memberatkan petani karena prosudernya yang rumit,  selain tingginya suku bunga. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2016, hanya 15% petani Indonesia yang mengakses kredit untuk modal di bank. Petani lebih memilih untuk kredit di lembaga non bank karena prosedurnya yang lebih mudah meskipun suku bunganya lebih tinggi[4].

            Di sisi lain, akses lahan bertambah sulit seiring semakin sempitnya lahan pertanian di Indonesia. Melansir keterangan dari Kementerian Pertanian, sebanyak 60.000 hektare (ha) lahan pertanian di Indonesia menyusut setiap tahunnya; nyaris setara dengan penurunan 300.000 ton produksi pertanian setiap tahun[5]. Rata-rata petani Indonesia menguasai lahan lebih kecil dari 0,5 ha dan jumlah ini terus meningkat dari 45,3% pada 1993 menjadi 56,4% pada 2003[6]. Lahan garapan yang sempit mempengaruhi besaran penghasilan petani, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan. Bandingkan dengan petani di Jepang yang rata-rata kaya dan mayoritas punya lahan minimal 7 ha.

            Ketiga. Pernah lihat anak-anak muda membludak saat pendafataran ASN, bahkan ada yang bawa jimat supaya lulus ujian ASN? Ya, anak-anak muda menginginkan penghasilan yang stabil dan rutin, menjadi alasan mereka lebih banyak mencari pekerjaan di sektor industri, perbankan atau menjadi pegawai pemerintah. Petani identik dengan penghasilan yang rendah serta fluktuatif. Pendapatan petani padi sawah di Indonesia sekitar 4,95 juta per hektar per musim panen atau sekitar 1,65 juta rupiah per bulan. Setelah susah-susah kuliah sampai sarjana, bekerja terpanggang matahari, dapat uang tidak sampai 2 juta, tak heran anak-anak muda enggan menjadi petani. Belum lagi harga produk yang kerap tidak stabil, pemasaran yang bergantung kepada tengkulak, serta faktor-faktor alam yang menjadi penyebab gagal panen.

            Meskipun masalah regenerasi petani terasa pelik, optimisme harus tetap dijaga. Perubahan menjadi keniscayaan. Pendidikan menjadi unsur penting dalam mengubah mindset tentang petani, bahwa petani adalah profesi yang penting karena menjadi tulang punggung ketahanan serta kedaulatan pangan negara. Janji pemerintah melakukan reforma agraria seluas 9 juta ha lahan untuk dibagikan kepada petani[7], patut diapresiasi. Namun, perlu pula kiranya pemerintah menjamin adanya insentif permodalan untuk petani, jaminan harga produk yang layak, pengaturan tata niaga pertanian serta jaminan pemasaran agar bisa mengurangi ketergantungan kepada tengkulak. Terakhir, penggunaan teknologi bukanlah hal yang tabu. Penggunaan teknologi tepat guna dapat mempermudah kerja petani. Di Jepang, pemanfaatan teknologi mesin bajak enam mempersingkat pekerjaan menjadi 1-2 jam saja. Metode Smart Farming yang menerapkan teknologi digital dalam usaha tani kiranya dapat digunakan untuk menarik perhatian generasi muda masa kini, yang merupakan digital natives, untuk menekuni dunia pertanian.

 

 



[1] https://kbr.id/nasional/05-2019/dari_264_juta_penduduk_indonesia__petani_hanya_tinggal_4_juta_orang/99444.html

[2] https://tirto.id/indonesia-krisis-regenerasi-petani-muda-cnvG

[3] https://www.pasundanekspres.co/opini/regenerasi-petani-muda-makin-memprihatinkan/

[4] https://www.pioneer.com/web/site/indonesia/Berita-Umum/berbagai-permasalahan-petani-indonesia-yang-penting-diperhatikan

[5] https://republika.co.id/berita/q411u4370/tiap-tahun-60-ribu-hektare-lahan-pertanian-menyusut

[6] Luas Lahan Usahatani dan Kesejahteraan Petani: Eksistensi Petani Gurem dan Urgensi Kebijakan Reforma Agraria, Sri Hery Susilowati dan Mohamad Maulana

[7] http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/22-informasi-berita/234-pemanfaatan-tanah-objek-reforma-agraria-tora-untuk-perluasan-lahan-pertanian-dan-kesejahteraan-petani

Kamis, 09 Juli 2020

MATA HARI



 Mata Hari lahir di kota kecil di Belanda, Leeuwarden, pada 7 Agustus 1876 dengan nama Margaretha Geertruida Zelle. Anak sulung dari pasangan Adam Zelle dan Antje van der Meulen. Ayahnya memiliki sebuah toko topi, melakukan investasi yang sukses dalam bisnis minyak, yang memungkinkan Margaretha kecil hidup dalam kenyamanan dan kekayaan. 
    Setelah kedua orangtuanya bercerai, Margaretha pindah ke Sneek dan tinggal bersama bapak baptisnya, Mr.Visser. Kemudian, dia menjalani pendidikan guru Taman Kanak Kanak di Leiden. Namun, saat Mr.Visser mengetahui Margaretha menjalin affair dengan sang kepala sekolah, dia mengeluarkan Margaretha dari institusi tersebut. Beberapa bulan kemudian, Margaretha meninggalkan ayah baptisnya untuk tinggal bersama pamannya di Den Haag.
    Saat usianya 18, Margaretha menikahi Kapten Rudolf MacLeod, seorang perwira militer Belanda. Mengikuti suaminya yang ditugaskan ke wilayah koloni, Margaretha pindah ke pulau Jawa. Di pulau nan eksotis itulah, Margaretha pertama kali mendengar istilah 'Mata Hari'. 
    Selama 7 tahun pernikahannya, Margaretha menjalani kehidupan kelas atas wanita kolonial. Namun, pernikahannya sendiri berjalan mengecewakan. Suaminya seorang pecandu alkohol dan suka memukuli isterinya yang duapuluh tahun lebih muda. Rudolf juga memiliki gundik, sebuah praktik yang lumrah dilakukan pejabat Belanda di Tanah Koloni.
    Pada saat yang sama, Jawa telah memikat hati Margaretha. Dia mempelajari tradisi lokal dan bergabung dengan sanggar tari setempat. Margaretha juga menyadari pesona kecantikannya. Di Jawa dia menjalin sejumlah affair yang menumbuhkan keyakinannya bahwa dengan kecantikan dan pesona rayuan, dia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan.
    Pernikahan Margaretha dengan Rudolf MacLeod berakhir dengan perceraian. Mereka berpisah saat kembali ke Amsterdam. Margaretha kemudian mendapatkan dirinya kekurangan uang dan memutuskan untuk menjadi penari eksotis. Tahun 1905, Margaretha pindah ke Paris untuk menari kabaret dengan menggunakan nama panggung Mata Hari. Sensual, menggoda dan memamerkan tubuhnya, Mata Hari sukses dalam debutnya di Musee Guimet pada 13 Maret 1905. Di sisi lain kehidupannya, ia menjadi simpanan milyuner asal Lyon, Emile Etienne Guimet.


    Karir menari Mata Hari mulai meredup sejak 1912. Pada 13 Maret 1915, dia menari untuk yang terakhir kalinya, ketika Perang Dunia I mulai membakar Eropa. Untuk mempertahankan hidupnya, Mata Hari menjalin hubungan gelap dengan sejumlah pejabat militer maupun pejabat pemerintahan. 
    Dalam PD I, Belanda bersikap netral. Sebagai WN Belanda, Mata Hari bebas melintasi perbatasan negara manapun. Tanpa disadari, pergerakannya dipantau oleh intelijen Inggris dan Prancis, mengingat hubungannya yang akrab dengan sejumlah petinggi Eropa.
    Mata Hari yang mulai mendekati usia 40 dan karirnya tak lagi cemerlang, jatuh cinta kepada kapten Rusia berusia 23 tahun, Vladimir Maslov. Maslov adalah anggota Tentara Ekspedisi Rusia yang berkekuatan 50.000 personil. Pada musim semi 1916, Maslov dikirim ke Front Barat  untuk melawan Jerman dan terluka parah. Mata Hari, sebagai warga dari negara yang netral, diizinkan mengunjunginya. Di front, Mata Hari betemu dengan George Ladoux, seorang perwira Deuxieme Bureau (Dinas Intelijen Militer Perancis). Ladoux memberinya tawaran 1 juta franc jika Mata Hari bersedia memikat Pangeran Wilhelm dan memberi informasi kepada Perancis terkait rencana perang Jerman. Pangeran Wilhelm adalah jenderal senior dalam Angkatan Perang Jerman di Front Barat. Dia juga putra Kaisar Wilhelm, yang menjadikannya pewaris tahta Kekaisaran Jerman.
    Demi mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan kekasihnya, Mata Hari menerima tawaran tersebut. 
  Kepada Ladoux, Mata Hari bersikeras menggunakan rencananya. Dia akan mendekati sang pangeran melalui koneksinya, mencuri rahasia militer lalu menyerahkannya kepada Perancis. 
    Mata Hari kemudian melakukan perjalanan ke Madrid pada 1916 diaman dia bertemu dan berhasil menjalin hubungan dengan Mayor Arnold Kalle, seorang atase militer Jerman. Selama periode ini, Mata Hari membeberkan rahasia militer Perancis kepada sang atase. Tidak bisa dipastikan apakah tindakannya itu dia lakukan demi uang atau merupakan bagian dari rencananya untuk mendekati sang Putra Mahkota.
    Pada Januari 1917, Mayor Kalle mengirim pesan ke Berlin, mendeskripsikan seorang mata-mata berkode sandi H-21. Pesan ini diintersepsi oleh dinas intelijen Perancis yang dengan segera mengidentifikasi H-21 sebagai Mata Hari. 
    Sebagian sejarawan meyakini, Mata Hari telah dijebak. Sejak awal, Jerman sudah curiga Mata Hari adalah mata-mata Perancis. Maka, mereka mengirim pesan ke Berlin dengan menggunakan kode yang sudah pernah dipecahkan oleh pihak Perancis. Dalam pesan itu, Mayor Kalle dengan gamblang menggambarkan biografi H-21, yang sangat cocok dengan sosok Mata Hari.
    Pada Februari 1917, Mata Hari ditangkap di Hotel Elysee Palace di Paris. Dia dijebloskan ke dalam penjara Saint Lazare yang konon dipenuhi tikus. Kepada pejabat yang menginterogasinya, Mata Hari berkata bahwa dia bukanlah mata-mata, bahwa dia semata menjalani kehidupannya demi cinta dan kesenangan. 
    Pada 15 Oktober 1917, dia dihukum mati di hadapan regu tembak Perancis. 

    Konon, pada waktu menjalani hukuman mati, Mata Hari menolak ditutup matanya. Sebelum ajalnya, Mata Hari bahkan sempat "meniupkan" ciuman kepada para anggota regu tembak.  

Senin, 06 Juli 2020

PRIA BERTOPENG BESI

Adalah novelis berkebangsaan Perancis, Alexandre Dumas, yang mempopulerkan dan mengabadikannya lewat novel karyanya L' Homme au Masque de Fer (The Man in the Iron Mask)Berdasarkan karya Dumas inilah, Hollywood kemudian memfilmkannya pada 1998, dibintangi aktor kawakan Leonardo Di Caprio, Jeremy Irons, John Malkovich, Gerard Depardieu.



The Man in the Iron Mask atau Pria Bertopeng Besi adalah legenda Perancis. Konon, lelaki itu disekap dalam penjara dan mengenakan topeng besi selama 30 tahun, makan dan tidur dengan memakai topeng itu sampai dia menemui ajalnya. Identitasnya disembunyikan, tindak kejahatannya dirahasiakan, hanya Raja dan beberapa pejabat istana kepercayaan yang mengetahuinya. 
    Siapakah Pria Bertopeng Besi? Tindak kejahatan apa yang sudah dilakukannya sehingga menerima hukuman sekeji itu? 
    Adalah atas perintah Louis XIV, raja yang membangun Istana Versailles, identitas Pria Bertopeng Besi dikunci rapat-rapat, tak hanya kepada publik, pula kepada petugas pengadilan serta petugas penjara. Selama 30 tahun, pria itu hidup berpindah-pindah dari satu penjara ke penjara lain, sampai akhirnya dijebloskan ke Bastille dan menemui ajalnya di sana.  Pada 1703, saat lelaki malang itu meninggal, perabotan dalam selnya dibakar, dinding-dinding penjara yang dipenuhi guratan ratapannya dicat ulang, topeng besinya dilelehkan dan mereka yang mengetahui identitasnya bersikukuh mengunci mulut rapat-rapat.
    Rumor tentang Pria Bertopeng Besi meruyak di Perancis sebelum pecahnya revolusi. Meski pada saat itu kebanyakan rakyat Perancis buta huruf, toh mereka punya teori sendiri menyangkut identitas Pria Bertopeng Besi. Salah satu rumor menyebutkan dia adalah saudara kembar Louis XIV yang sengaja dipenjarakan agar Louis XIV bisa leluasa mengontrol kerajaan sebagai Raja Pilihan Langit. Teori lain menyebutkan bahwa lelaki itu adalah anak haram sang raja dengan seorang gadis petani, karena wajahnya teramat mirip dengan Louis XIV, maka dia pun dipenjarakan dan wajahnya ditutupi topeng besi.
 

    Limapuluh tahun setelah kematian Pria Bertopeng Besi, barulah sejarawan berusaha menyelidiki identitasnya serta tindak kejahatannya. Pada 1753, sebuah jurnal milik Etienne du Jonca ditemukan di Paris. Du Jonca adalah seorang letnan pada masa Louis XIV. Dia mencatat, pada 1698, saat pria malang itu menghabiskan hampir 30 tahun dalam sekapan, Du Jonca dikirim ke Bastille sebagai utusan Raja. 

    "Pada hari Kamis, 18 September, pukul 3 dinihari, Monsieur Benigne de Saint Mars, Gubernur Chateau Bastille, datang dari Iles Saint Marguerite Pignerol, membawa seorang tahanan yang wajahnya ditutupi topeng dan namanya tidak disebutkan."
    
Du Jonca juga menulis, bahwa setelah kematian pria itu, pakaian dan perabotan yang digunakannya selama dalam sel dibakar secara "tergesa-gesa". Selain itu, pria itu dikuburkan dengan nama palsu Marchioly. Tidak seorang pun petugas penjara yang diperbolehkan melihat wajah di balik topeng saat jasad pria itu dipindahkan dari Bastille ke sebuah pemakaman di kota pada suatu malam yang teramat gelap.
    Di Villeneuve, di wilayah Bourbonnais Perancis, petunjuk lain muncul. Menurut kesaksian seorang petani, Benigne de Saint Mars dalam perjalanannya membawa tahanan bertopeng besi, singgah sebentar di sebuah chateau miliknya untuk bersantap. Petani yang mengintip dari balik jendela rumahnya itu menggambarkan betapa ketatnya penjagaan terhadap tahanan, seolah-olah Saint Mars akan langsung menembaknya bila tahanan berupaya membuat kontak dengan pelayan di dalam chateau
 
                                                    (Benigne de Saint Mars, Gubernur Penjara Prancis)

Sebelum pecahnya Revolusi Prancis 1789, diduga hanya Benigne de Saint Mars dan Louis XIV saja yang mengetahui identitas Pria Bertopeng Besi. Bahkan para penerus Louis XIV tidak mengetahui siapa pria itu--sampai raja terakhir Prancis, Louis XVI, berusaha menguak misteri ini atas permintaan isterinya, Marie Antoinette. 
    Ketika revolusi menggoncang Prancis, banyak kantor-kantor pemerintahan kerajaan yang dirusak atas perintah para pemimpin revolusi seperti Robespierre. Dalam aksi-aksi perusakan dan pembakaran, sebuah dokumen ditemukan di kantor Menteri Perang Kerajaan di Paris. Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa selama bertahun-tahun, Saint Mars menjalin surat-menyurat dengan seorang perwira penjara bernama Louvois. Pada Juli 1669, Louvois menulis kepada Saint Mars.

     "Raja (Louis XIV) memberi saya perintah untuk membawa tahanan bernama Eustache Dauger ke Pignerol. Sangatlah penting untuk menjaga tahanan secara rahasia serta tidak memberikan informasi tentang dirinya atau mengirim surat kepada siapapun (yang menceritakan tentang dirinya). Setiap hari, anda harus memberinya cukup makan dan tidak mendengarkan apapun yang dikatakannya. Anda harus waspada dan selalu siap membunuhnya jika dia membuka mulutnya dan mengucapkan hal-hal yang tidak sepantasnya."

    Selain surat-surat de Mars dan Louivois, di kantor Menteri Perang Kerajaan juga ditemukan surat dari Louis XIV kepada gubernur penjara Prancis, Benigne de Saint Mars.

    "Saya mengirim seorang (tahanan) ke benteng Pignerol, dibawah tanggungjawab Kapten de Vauroy, Sersan Mayor dari kota dan benteng Dunkirk. Pria itu bernama Eustache Dauger. Anda berkewajiban menahannya dan mencegahnya berkomunikasi dengan siapapun, baik lewat lisan maupun tulisan."

    Penyelidikan terhadap jatidiri Eustache Dauger yang baru dilakukan pada abad 19, menunjukkan bahwa: dia salah seorang dari enam bersaudara. Empat saudaranya meninggal dalam perang. Dia berasal dari Dunkirk dan diyakini pernah menjadi anggota pasukan elit Pengawal Raja. 
    Berkat kedudukannya sebagai Pengawal Raja, Dauger berada di jantung kekuasaan. Dia memiliki hubungan dekat dengan Madame de Montespan,  gundik kesayangan Louis XIV dan secara rahasia merupakan penganut sihir hitam. Kemungkinan besar, Dauger mengetahui kecenderungan de Montespan akan sihir sehingga ia terlibat dalam kesulitan. Louis XIV tentu saja tidak menginginkan Dauger berkoar-koar kepada publik tentang keyakinan sesat gundik kesayangannya, sehingga dia pun memenjarakannya, menutupi wajahnya dengan topeng besi, dan melarang siapapun berbicara dengannya. 
   Lantas, kenapa Louis XIV tidak memerintahkan Dauger dibunuh saja? Bukankah Louis adalah raja dengan kekuasaan absolut yang bisa memerintahkan pembunuhan semaunya?



    
    

ELI COHEN, SPYMASTER ISRAEL


Eli Cohen lahir di Aleksandria (Iskandariah), Mesir, pada 16 Desember 1924. Mengikuti jejak orangtuanya, ia pemeluk Yahudi Ortodoks. Pada Desember 1956, ia dan keluarganya diusir dari Mesir menyusul terjadinya krisis Suez. Mereka pun pindah ke Haifa, Israel.
    Tahun 1957, Eli direkrut oleh intelijen militer Israel. Namun, dengan cepat ia merasa bosan karena pekerjaannya sebagai analis mengharuskannya berada di balik meja. Ia pun mencoba mendaftar Mossad, tapi ditolak. Penolakan itu rupanya membuat Eli tersinggung. Ia mundur dari militer dan menikahi seorang wanita Yahudi-Irak bernama Nadia Majaid. 
    Selama dua tahun berikutnya, Eli Cohen menjalani kehidupan normal di Tel Aviv. Yang tidak dia ketahui, dossier-nya kembali muncul di Mossad saat dilakukan penyaringan atas "berkas buangan" oleh Meir Amit, Direktur Mossad. Pada waktu itu, Amit sedang mencari "jenis agen tertentu untuk menginfiltrasi pemerintahan Suriah". Karena tidak menemukan orang yang cocok dalam berkas aktif, maka dia pun membuka-buka berkas buangan. Cohen muncul sebagai satu-satunya kemungkinan yang ada.
    Pengintaian terhadap Eli Cohen pun dilakukan. Laporan mingguan dari kantor perekrutan Mossad menggambarkan kebiasaannya yang rewel dan pengabdiannya kepada istri dan keluarganya. Ia pekerja keras, mudah memahami sesuatu dan bekerja baik di bawah tekanan. Singkatnya, Cohen cocok menjadi agen yang diinginkan Meir Amit.
    Eli pun memulai kursus intensif 6 bulan di sekolah pelatihan Mossad. Ia belajar membuat bahan peledak dan bom waktu dari bahan-bahan sederhana, menguasai beladiri tanpa senjata, menjadi penembak jitu kelas satu, juga pakar pencuri. Daya ingatnya fenomenal. Laporan kelulusannya menyatakan bahwa Eli memiliki semua kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang agen handal.
    Meir Amit kemudian menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk menciptakan kisah hidup Kamil Amin Taabes; seorang pengusaha berdarah Suriah yang pulang ke kampung halaman setelah lama tinggal di Argentina. Kamil Amin Taabes akan menjadi nama samaran bagi Eli Cohen.
    Dengan cepat, Eli mempelajari peta-peta jalan dan foto Buenos Aires, menghapal perbedaan antara surat muatan dengan sertifikat pengapalan, surat kontrak dan jaminan, segala sesuatu yang perlu ia ketahui terkait bisnis ekspor dan impor ke Suriah.
    Pada 1961, Cohen pindah ke Buenos Aires demi memantapkan samarannya. Di ibukota Argentina ini, Cohen berhasil masuk ke komunitas pengusaha Arab, menampilkan dirinya sebagai sosok pendukung Partai Ba'ath Suriah dan memiliki dana besar untuk disumbangkan ke partai tersebut.
    Tahun 1962, Cohen alias Kamil Amin Taabes pindah ke Damaskus. Dengan segara ia memapankan diri di tengah komunitas bisnis Damaskus, menggelar pesta mewah untuk merintis lingkaran persahabatan di kalangan elit. Tak lama kemudian, ia berhasil menjalin persahabatan dengan Maazi Zahreddin, keponakan presiden Suriah.
    Zahreddin orangnya suka sesumbar, selalu ingin memamerkan kekuatan militer Suriah, dan Cohen dengan pintar mengeksploitasi sifat sahabat barunya itu. Tak butuh waktu lama, Cohen diajak mengikuti tur ke kawasan pertahanan Suriah di Dataran Tinggi Golan. Zahreddin bahkan mengijinkannya mengambil foto. Beberapa jam setelah kedatangan 200 tank T-54 buatan Rusia ke Suriah, Cohen sudah mengirim informasi ke Tel Aviv. Ia bahkan berhasil memperoleh sebuah cetak biru lengkap seputar strategi Suriah untuk mengepung wilayah utara Israel--sebuah informasi yang sangat bernilai.
    Sepanjang tahun 1962-1965, Cohen menyuplai begitu banyak data intelijen ke Israel. Dia mengirim informasinya lewat radio, surat rahasia, bahkan melakukan perjalanan sendiri. Tercatat ia 3 kali melakukan perjalanan rahasia ke Israel. Informasinya yang paling berharga tentu saja strategi Suriah di Dataran Tinggi Golan. Informasi itu sangat berguna bagi Israel dalam Perang Enam Hari sehingga mereka mampu menguasai kawasan tersebut hanya dalam 2 hari.
    Akan tetapi, ibarat kata pepatah sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga, begitu pula yang dialami Eli Cohen. Kepala intelijen Suriah yang baru, Ahmed Suidani adalah seorang pencuriga dan dia tidak menyukai Kamil Amin Taabes. Dalam kepulangan rahasianya yang terakhir ke Israel, sekaligus demi melihat kelahiran putranya yang ketiga, Eli menyatakan rasa takutnya terhadap lelaki itu kepada Mossad. Namun, Mossad memintanya kembali ke Suriah.
    Pada Januari 1965, dengan menggunakan peralatan teknologi tinggi dari Rusia dan dibantu oleh ahli Rusia, intelijen Suriah meningkatkan upayanya untuk melacak mata-mata pengkhianat. Suatu malam, Eli Cohen sedang bersiap-siap mengirim transmisi ke Israel. Saat ia menyalakan transmiternya, sejumlah perwira intelijen Suriah mendobrak pintu dan menyerbu masuk ke dalam apartemen. Cohen ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
    Pada 18 Mei 1965, beberapa menit setelah pukul 02.00 dinihari, sebuah konvoi berjalan keluar dari penjara El Maza di Damaskus. Di dalam salah satu truk duduk sang spymaster Israel, Eli Cohen.
    Eli Cohen dihukum gantung di Marjeh Square, Damaskus, disaksikan ribuan warga Suriah dan di bawah sorotan lampu-lampu kamera televisi, tepat pada pukul 03.35 dinihari.


  

Dinukil dari buku Gideon's Spies karya Gordon Thomas, terbitan Pustaka Primatama, dengan sedikit tambahan dari penulis.

PELIKNYA REGENERASI PETANI INDONESIA

Dalam sepiring makanan yang tersaji dihadapan kita, terkandung upaya para petani. Taruhlah pagi ini kita sarapan nasi serta oseng-oseng kaca...